Selasa, 25 Februari 2014

Tafsir Ayat Kursi

0 komentar

Makna, Kandungan dan Tafsir Ayat Kursi Secara Ringkas

Kandungan Ayat Kursi - Pustaka Imam asy-Syafi'iAyat Kursi yang mulia dan penuh berkah ini terdiri atas sepuluh penggal kalimat. Di dalamnya terkandung tauhidullah, pengagungan terhadap-Nya serta penjelasan akan keesaan-Nya dalam kesempurnaan dan kebesaran, sehingga akan melahirkan penjagaan dan kecukupan bagi yang membacanya. Di dalam ayat ini terdapat lima Asma’ul Husna, juga terdapat lebih dari dua puluh sifat Allah, didahului dengan menyebutkan kemahaesaan Allah dalam peribadatan dan bathilnya beribadah kepada selain-Nya, kemudian disebutkan tentang kemahahidupan Allah yang sempurna yang tidak diiringi dengan kesirnaan.
Disebutkan pula di dalamnya bahwa Allah adalah al-Qayyuum, yaitu Dia berdiri sendiri, tidak membutuhkan makhluk-Nya dan senantiasa mengatur seluruh urusan makhluk-Nya.  Selain itu, juga tentang kemahasucian Allah dari segala sifat yang kurang, seperti mengantuk dan tidur, mengenai luasnya kerajaan-Nya. Bahwasanya semua yang ada di langit dan bumi adalah hamba-Nya, berada di bawah kekuasaan dan aturan-Nya. Dia juga menyebutkan bahwa di antara bukti-bukti keagungan-Nya ialah tidak mungkin bagi seorang pun dari makhluk-Nya untuk memberi syafaat di sisi-Nya kecuali setelah mendapat izin dari-Nya.
Di dalamnya terdapat penetapan

sifat ilmu bagi Allah, ilmu-Nya meliputi segala yang diketahui, Dia mengetahui yang telah terjadi, yang akan terjadi dan apa yang belum terjadi, begitu pula jika sesuatu itu terjadi akan seperti apa bentuk dan rupanya. Di dalamnya juga disebutkan tentang kemahabesaran Allah dengan menyebutkan kebesaran makhluk-Nya. Jika Kursi yang merupakan salah satu dari makhluk-Nya meliputi langit dan bumi, maka bagaimana dengan Sang Pencipta yang Mahaagung dan Rabb Yang Mahabesar?

Di dalamnya juga terdapat penjelasan tentang kesempurnaan kekuasaan-Nya. Di antara bentuk kesempurnaan kekuasaan-Nya adalah tidak memberatkan-Nya penjagaan terhadap langit dan bumi. Kemudian ayat ini ditutup dengan menyebutkan dua nama Allah yang agung, yaitu al-‘Aly dan al-‘Azhiim. Di dalamnya mengandung penetapan akan kemahatinggian Allah, baik Dzat dan kekuasaan-Nya, juga penetapan kemahabesaran-Nya, dengan mengimani bahwa Dia memiliki segala makna kebesaran dan keagungan, tidak ada seorang pun yang berhak atas pengagungan dan pemuliaan selain Dia.
Inilah kandungan global dari Ayat Kursi. Ayat yang agung ini mengandung makna-makna agung dan  bukti-bukti mendalam serta rambu-rambu keimanan yang menunjukkan kebesaran dan keagungan-Nya.
Syaikh al-Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya berkata, “Ayat yang mulia ini adalah ayat al-Qur’an yang paling agung dan yang paling utama.  Hal ini dikarenakan kandungannya yang memuat perkara-perkara yang agung dan sifat-sifat yang mulia. Oleh karena itu, banyak hadits yang menganjurkan untuk membacanya dan menjadikannya sebagai wirid harian bagi manusia pada waktu-waktu yang dijalaninya, baik pagi maupun petang, juga ketika menjelang tidur dan setelah menunaikan shalat lima waktu.
Allah memberitakan tentang diri-Nya yang mulia bahwa Dia ‘Laa ilaaha illa huwa’. Maksudnya tiada ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia. Dialah satu-satunya ilah yang berhak diibadahi, yang mengharuskan tertujunya seluruh bentuk peribadatan, ketaatan dan penyembahan hanya kepada-Nya. Ini karena kesempurnaan-Nya dan kesempurnaan sifat-Nya serta karena besarnya nikmat-Nya. Di samping itu, kewajiban makhluk adalah menjadi hamba-Nya, menerapkan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Seluruh sembahan selain Allah adalah bathil, beribadah kepada selain Dia pun bathil. Ini disebabkan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk yang memiliki sifat-sifat yang kurang, diatur, dan membutuhkan yang lain dalam segala segi. Maka dari itu, makhluk tidak berhak sedikitpun untuk diibadahi. Adapun firman-Nya ‘Al-Hayyul Qayyuum’, dua nama mulia ini menunjukkan kepada seluruh asma’ul husna secara muthabaqah (adekusi), tadhammun (inklusi) dan luzum(konsekuensi). Sifat al-Hayyu Yang Mahahidup menunjukkan kepada Dzat yang memiliki sifat hidup yang sempurna, yang mencakup semua sifat-sifat Dzat seperti Maha Mendengar, maha Melihat, Maha Berilmu, Mahakuasa dan semisalnya.
Al-Qayyuum Yang Maha Berdiri sendiri, Dialah yang tegak dengan kesendirian-Nya dan Yang Menegakkan yang lain. Sifat ini mencakup seluruh perbuatan yang dikerjakan oleh Rabbul Alamin, seperti istiwaa(bersemayam), nuzul (turun ke langit bumi pada sepertiga malam terakhir*), kalam (Berfirman), mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, dan segala bentuk pengaturan. Semua itu tercakup dalam asma-Nya, al-Qayyuum. Oleh karena itu sebagian ulama berkata, “Dua nama ini adalah asma Allah yang paling agung . Jika dipanggil dengan menyebut asma ini, niscaya Dia akan menjawab dan jika meminta dengan menyebut nama-Nya ini, niscaya Dia akan memberi.”
Di antara bentuk kesempurnaan sifat hidup dan berdiri sendiri-Nya ini ialah Dia tidak tersentuh oleh kantuk dan tidur. Milik-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi. Dialah yang memiliki, sedangkan selain-Nya adalah yang dimiliki. Dialah Yang Maha Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Pengatur, sedangkan selain-Nya adalah diciptakan, diberi rizki dan diatur.
Mereka tidak memiliki sedikit pun, walaupun hanya sebesar dzarrah (biji sawi), sesuatu yang berada di langit maupun di bumi, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain.
Oleh karena itu, Allah berfirman, “Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?” Maksudnya tidak ada seorang pun yang dapat memberikan syafaat di sisi-Nya tanpa izin dari-Nya. Syafaat itu seluruhnya hanya milik Allah semata. Akan tetapi, jika Allah berkehendak untuk merahmati siapa pun yang dikehendaki-Nya, Dia akan mengizinkan kepada salah seorang yang dimuliakan-Nya untuk memberikan syafaat kepadanya. Seorang pemberi syafaat tidak akan berani memulai memberi syafaat tanpa izin dari-Nya.
Kemudian Allah berfirman, “Dia Maha Mengetahui apa yang berada di hadapan mereka,” yaitu segala sesuatu yang telah berlalu, “dan apa yang berada di belakang mereka,” yaitu apa yang akan terjadi. Ilmu Allah meliputi segala perkara secara rinci, yang permulaan dan yang paling akhir, yang tampak dan yang tersembunyi, yang ghaib maupun yang nyata. Adapun hamba, mereka tidak memiliki hak sedikitpun untuk mengurus hal ini dan tidak memiliki ilmu sedikitpun, kecuali apa yang telah Allah ajarkan kepada mereka.
Oleh karena itu Allah berfirman, “…dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi…” Ini menunjukkan kesempurnaan keagungan-Nya dan luasnya kekuasaan-Nya. Kursi-Nya saja sedemikian besar yaitu meliputi langit dan bumi, sementara keduanya ini sangat besar dan sangat banyak pula penghuni keduanya. Kursi bukanlah makhluk Allah yang terbesar, bahkan masih ada lagi yang lebih besar darinya, yaitu ‘Arsy dan juga yang lainnya yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Kebesaran makhluk-makhluk tersebut membuat akal pikiran menjadi bingung dan tiap-tiap pandangan menjadi tumpul, gunung-gunung bergerak, dan orang-orang pandai terangguk-angguk.
Bagaimana jika dihadapkan dengan penciptanya? Yang menyertakan pada penciptaannya hikmah dan rahasia yang dikehendaki-Nya. Yang menahan langit dan bumi agar tidak bergerak dengan tanpa merasa lelah dan letih. Oleh karena itu Dia berfirman, “…dan Dia tidak merasa berat dalam menjaga keduanya, dan Dia Mahatinggi…” dengan Dzat-Nya Dia bersemayam di atas ‘Arsy, yang Mahatinggi dengan kekuasaan-Nya terhadap seluruh makhluk, Yang Mahatinggi dengan kekuasaan-Nya karena kesempurnaan sifat-Nya. Mahabesar sehingga menjadi kecil dan remeh kedaulatan para diktator jika dihadapkan dengan kebesaran kekuasaan-Nya, kesombongan raja-raja yang congkak menjadi kecil di samping keagungan-Nya. Mahasuci Dzat yang memiliki kebesaran yang Agung nan tiada tara, Yang menundukkan dan menguasai segala sesuatu.” [Tafsir as-Sa’di hal. 110]
***
Disusun ulang dan diringkas dari Keagungan Nilai-Nilai Tauhid dalam Ayat Kursi Bab Kandungan Ayat Kursi, karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr penerbit Pustaka Imam asy-Syafi’I 2007
*Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni.” [HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758]
Read more...

Tanya Jawab

0 komentar

Beberapa Tanya Jawab Penting dalam Islam (Bag 1)

Tanya jawab penting tentang IslamDi antara metode atau uslub dalam pendidikan adalah dengan cara tanya jawab. Metode semacam ini banyak terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an dan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai salah satu contoh adalah apa yang terdapat dalam sebuah hadits shahih yang cukup terkenal, yaitu hadits Jibril yang datang berupa seorang laki-laki dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Islam, iman dan ihsan. Di akhir hadits tersebut Rasulullah mengatakan, “Wahai Umar, tahukah engkau siapakah orang yang bertanya itu?” Umar menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Ia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajari kalian tentang agama kalian.”
Berikut ini adalah beberapa permasalahan dalam Islam yang cukup penting untuk diketahui oleh seorang muslim dalam bentuk tanya jawab untuk mempermudah dalam memahami dan mengingatnya.*

1. Apakah syarat diterimanya amal shaleh?

Syarat diterimanya amal shaleh:
a. Beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mentauhidkan-Nya. Amalan orang yang berbuat syirik tidak akan diterima.
b. Ikhlas, yakni bahwa amalan shaleh tersebut dilakukan semata-mata karena mengharapkan ridha Allah.
c. Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam amalan itu, dengan cara mengerjakan sesuai dengan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Sehingga Allah tidak diibadahi kecuali dengan apa yang diajarkan oleh beliau.
Jika salah satu dari syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka amalan akan tertolak/tidak diterima. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS al-Furqan: 23)

2. Apakah arti iman itu dan ada berapa rukunnya?

Iman artinya, keyakinan hati, ucapan lisan, dan amalan anggota badan. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS al-Fath: 4)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu ada tujuh puluhan cabang. Cabang yang tertinggi adalah ucapan “Laa ilaaha illallah” (tidak ada tuhan yang haq kecuali Allah) dan yang paling rendah adalah menjauhkan gangguan dari jalan. Rasa malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (H.R Muslim)
Ini diperkuat oleh apa yang dirasakan seorang muslim dalam dirinya berupa sikap semangat dalam ketaatan tatkala berada pada musim-musim kebaikan, dan rasa malas pada musim-musim tersebut ketika melakukan kemaksiatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS Hud: 114)

3. Apa makna Laa ilaaha illallah?

Maknanya yaitu meniadakan hak ibadah bagi selain Allah, dan menetapkannya hanya untuk Allah yang Maha Esa semata.

4. Apakah Allah bersama kita?

Ya benar, Allah bersama kita dengan pengetahuan, pendengaran, penglihatan, penjagaan, peliputan, kekuasaan dan kehendak-Nya. Adapun Dzat-Nya tidak bercampur dengan dzat makhluk dan tidak ada satu makhluk pun yang bisa meliputi-Nya.

5. Apakah Allah bisa dilihat dengan mata?

Kaum muslimin sepakat bahwa Allah tidak bisa dilihat di dunia. Akan tetapi orang-orang yang beriman akan melihat-Nya di padang mahsyar dan di surga. Allah berfirman: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS al-Qiyamah: 22-23)

6. Apakah kegunaan mengetahui nama-nama dan sifat-sifat Allah?

Sesungguhnya kewajiban pertama yang diwajibkan Allah kepada makhluk-Nya adalah mengenal Allah. Apabila manusia mengenal Allah, maka mereka akan beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benar ibadah, Allah berfirman: “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (QS Muhammad: 19)
Dengan mengingat luasnya rahmat Allah menjadikan penuh harap (الرجاء), mengingat pedihnya siksa dan murka Allah menimbulkan ketakutan yang sangat (الخوف), dan dengan mengingat keesaan Allah dalam menganugerahkan nikmat mengharuskan rasa syukur kepada-Nya. Maksud dari beribadah kepada Allah dengan nama dan sifat-Nya adalah mewujudkan pengetahuan tentang nama dan sifat Allah tersebut, memahami arti yang terkandung di dalamnya, serta mengamalkannya. Di antara nama dan sifat-Nya terdapat sifat yang apabila dimiliki oleh seorang hamba maka ia dipuji, seperti ilmu, kasih sayang, dan adil. Di antara sifat dan nama-Nya apabila dimiliki oleh seorang hamba maka ia dicela, seperti sifat ketuhanan, absolut, dan sombong. Sementara ada beberapa sifat bagi hamba yang dipuji karenanya, dan diperintahkan untuk memilikinya, tetapi tidak boleh sifat tersebut ada pada Allah, seperti sifat kehambaan, membutuhkan, berhajat, menghinakan diri, memohon dan semisalnya. Sesungguhnya makhluk yang paling dicintai Allah adalah yang memiliki sifat yang dicintai-Nya, dan yang paling dibenci Allah adalah orang yang memiliki sifat yang dibenci-Nya.

7. Apa rincian Asmaul Husna?

Allah berfirman: “Allah memiliki nama-nama yang baik, maka serulah Dia dengan nama-nama itu.” (QS al-A’raf: 180). Dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:“Sesungguhnya Allah Ta’ala memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Siapa yang menghitungnya maka akan masuk surga.” (Muttafaq ‘alaihi )
Adapun pengertian ihsha (menghitung) adalah : 1) Menghitung lafadz dan jumlahnya 2) Memahami makna yang tersirat dan  terkandung di dalamnya serta mengimaninya. Apabila ia mengatakan الحكيم Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), berarti dia menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah, karena seluruhnya itu sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Apabila dia berkata القدّوس Al-Quddus (Yang Maha Suci), maka dia merasakan bahwa Allah itu suci dan bersih dari segala kekurangan. 3) Berdo’a kepada Allah dengan nama-nama-Nya.
Doa ada dua: a) Doa pujian dan ibadah. b) Doa permohonan dan masalah.

8. Apakah perbedaan antara nama Allah dan sifat-Nya?

Nama Allah dan sifat-sifat-Nya dapat dipakai untuk minta perlindungan dan bersumpah. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan, di antaranya yang terpenting adalah:
Pertama: Dibolehkan memberikan nama Abd (hamba) di depan nama-nama Allah, dan berdo’a dengan-Nya. Adapun dengan sifat-sifat-Nya tidak boleh. Contoh pemberian nama dengan abd, seperti عبدالكريم Abdul Karim (hamba Yang Maha Mulia), namun pemberian nama عبدالكرم Abdul Karam (hamba kemuliaan) tidak boleh. Begitu pula berdo’a dengan memanggil salah satu nama Allah ياكريم ya Karim (wahai Yang Maha Mulia), akan tetapi tidak boleh berdo’a dengan menyebut ياكرم الله ya karamallah (wahai kemulian Allah).
Kedua: Dari nama-nama Allah diambil sifat-sifat-Nya, seperti namaالرحمن Al-Rahman, dapat diambil dari nama tersebut sifat الرحمة rahmah. Adapun sifat-sifat Allah, tidak bisa diambil darinya nama-nama bagi Allah, seperti sifat الاستواء istiwa’ tidak dapat diambil darinya nama Allahالمستوي Al-Mustawy (Yang beristiwa’).
Ketiga: Perbuatan Allah tidak bisa diambil darinya nama yang tidak ada dalam nama-nama Allah. Di antara perbuatan Allah adalah الغضب al-Ghadhab (marah), tidak bisa diambil darinya nama untuk Allah sepertiالغاضب Al-Ghaadhib. Adapun sifat-sifat-Nya dapat diambil dari perbuatan-Nya. Oleh karena itu sifat marah, kita tetapkan bagi Allah karena marah itu adalah salah satu perbuatan Allah.

9. Cukupkah kita berpedoman dengan al-Quran saja tanpa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Tidak cukup, karena Allah memerintahkan untuk berpegang kepada sunnah dalam firman-Nya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”(Q.S Al-Hasyr: 7)
As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir Al-Qur’an. Rincian syari’at agama, seperti shalat, tidak dapat diketahui tanpa sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya aku diberi kitab (al Quran) dan semisalnya bersamanya, ketahuilah akan ada seorang yang kenyang (duduk) di atas kursinya lalu berkata: berpeganglah kalian pada Al Quran ini, hal-hal yang halal yang kalian temui di dalamnya maka halalkanlah, dan hal-hal yang haram yang kalian temui di dalamnya, maka haramkanlah.” (H.R Abu Daud)

10. Apakah arti beriman kepada para rasul?

Yaitu pembenaran yang pasti, bahwa Allah telah mengutus seorang rasul kepada setiap umat dari golongan mereka, mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah semata, dan mengingkari sesuatu yang diibadahi selain-Nya, dan para rasul itu semuanya jujur, dipercaya, pintar, mulia, berbakti, bertakwa, terpercaya, pemberi petunjuk, dan diberi petunjuk, mereka menyampaikan risalah/misi, makhluk yang paling baik, dan suci dari mempersekutukan Allah sejak lahir sampai meninggal dunia.

11. Apakah macam-macam syafaat pada hari kiamat?

Ada berbagai macam syafaat, yang terbesar adalah syafa’at uzhma(syafa’at terbesar). Yang terjadi pada saat manusia dikumpulkan pada hari kiamat, setelah lima puluh ribu tahun manusia berdiri menunggu keputuskan urusan mereka, lantas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan syafa’at di sisi Rabbnya dan memohon kepada-Nya untuk memutuskan urusan mereka. Syafa’at ini hanya dimiliki oleh pemimpin kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan merupakan kedudukan terpuji yang dijanjikan untuk beliau.
Kedua: Syafa’at untuk meminta dibukanya pintu surga. Orang yang pertama kali minta dibukakan pintu surga adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat yang pertama kali masuk surga adalah umat beliau.
Ketiga: Syafa’at untuk sekelompok kaum yang telah diperintahkan untuk dimasukkan ke dalam api neraka, agar tidak jadi memasukinya.
Keempat: Syafa’at untuk pelaku maksiat dari kalangan ahli tauhid yang telah masuk neraka, agar dikeluarkan darinya.
Kelima: Syafa’at untuk meninggikan derajat sekelompok penghuni surga.
Ketiga macam syafa’at terakhir ini (syafa’at ketiga, keempat dan kelima) tidak dikhususkan untuk nabi kita, tapi beliau adalah yang diberi kesempatan terlebih dahulu. Setelah beliau, yang memberikan syafaat adalah para nabi, malaikat, orang-orang sholeh, dan para syuhada’ (orang yang mati syahid).
Keenam: Syafa’at untuk sekelompok manusia agar masuk surga tanpa hisab.
Ketujuh: Syafaat untuk mendapatkan keringanan azab bagi sebagian orang kafir. Syafa’at ini adalah khusus bagi nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk paman beliau Abu Thalib, agar azabnya diringankan.
Kemudian Allah dengan rahmat-Nya mengeluarkan sekelompok orang yang meninggal dunia dalam keadaan bertauhid dari api neraka, tanpa syafa’at dari siapapun. Jumlah mereka tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Allah, lalu dimasukkan ke dalam surga dengan rahmat-Nya.

12. Bolehkah minta tolong, atau minta syafa’at dari orang yang masih hidup?

Boleh, syari’at Islam menganjurkan untuk memberikan pertolongan kepada sesama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.” (Al-Maidah: 2) Rasulullah bersabda: “Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selagi ia menolong saudaranya.” (H.R.Muslim)
Adapun syafa’at, maka keutamaannya besar sekali, syafaat disini berarti perantaraan, Allah berfirman: ”Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik,niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya.” (An-Nisaa:85) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berilah syafa’at (jadilah sebagai perantara yang menolong), niscaya kalian akan diberi pahala.” (HR Bukhari)
Semua hal di atas harus sesuai dengan beberapa syarat:
Pertama: Syafa’at itu berasal dari orang yang masih hidup. Adapun memohon syafa’at dari orang yang sudah meninggal dinamakan do’a. Padahal si mayit tidak dapat mendengar permohonannya. Allah berfirman: “Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada menmendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.” (Fathir:14) Maka bagaimana mayit sampai di seru, padahal ia sendiri butuh doa orang yang masih hidup. Amalannya telah terputus dengan kematiannya kecuali apa yang dapat sampai kepadanya berupa pahala doa dan lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak soleh yang mendoakan.” (H.R Muslim)
Kedua: Mengerti apa yang diutarakan kepadanya.
Ketiga: Orang yang dimintai syafa’at hadir di hadapan yang meminta.
Keempat: Syafaat itu harus dalam hal yang mampu dilakukan.
Kelima: Dalam urusan duniawi.
Keenam: Pada perkara yang dibolehkan dan tidak mengandung kemudharatan.

13. Ada berapa jenis tawasul?

Tawasul ada dua bagian:
Pertama: Tawasul yang dibolehkan; tawasul ini ada tiga macam:
1) Tawasul kepada Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
2) Tawasul kepada Allah dengan sebagian amal sholeh (yang dikerjakan oleh si pemohon), seperti kisah tiga orang yang terkurung di dalam gua.
3) Tawasul kepada Allah, dengan do’a seorang muslim yang shaleh yang masih hidup, yang hadir (berada di hadapannya) yang diharapkan do’anya akan dikabulkan.
Kedua: Tawasul yang haram (dilarang), tawasul ini ada dua macam:
1) Berdo’a kepada Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jah(kedudukan) Nabi atau wali. Seperti ungkapan: “Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dengan bertawasul dengan jah(kedudukan) nabi-Mu”, atau dengan jah Husain misalnya. Memang benar, bahwa jah (kedudukan) Nabi agung sekali di sisi Allah, begitu juga jah (kedudukan) orang-orang shaleh. Akan tetapi para sahabat yang mereka adalah orang yang paling antusias kepada kebajikan, tatkala terjadi paceklik, mereka tidak bertawasul dengan jah(kedudukan) Nabi padahal makam beliau ada di tengah-tengah mereka. Mereka hanya bertawasul dengan do’a paman beliau yang pada waktu itu masih hidup, yaitu Abbas radhiallahu ‘anhu.
2) Meminta kepada Allah untuk dikabulkan hajatnya seraya bersumpah dengan nama nabi-Nya atau wali-Nya, seperti ungkapan: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu (untuk dipenuhi) ini dan itu, demi wali-Mu si fulan, atau demi hak nabi-Mu.” Bersumpah dengan nama makhluk terhadap makhluk saja hukumnya dilarang, apalagi terhadap Allah, hal itu lebih dilarang lagi. Seorang hamba tidak memiliki hak apapun terhadap Allah karena semata-mata mentaati-Nya.
Read more...

Jual Beli Kredit

0 komentar

Jual Beli Kredit

Hukum jual beli kreditMasalah jual beli kredit masih menjadi topik hangat di kalangan kaum muslimin. Apalagi dengan praktek jaman sekarang, bagaimanakah pandangan syariat mengenai hal ini? Berikut penjelasan Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. alumnus S3 Universitas Madinah berkaitan dengan hukum muamalah jual beli kredit yang marak di masa sekarang ini.
HUKUM PERKREDITAN
Macam-Macam Praktek Perkreditan.
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua: Pemilik barang.
Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”(Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamhanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit t berikut:
عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله e نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas t ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang . Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.
ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama’:
من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallau Ta’ala a’alam bisshowab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel http://www.pengusahamuslim.com

Footnote:
[1] ) Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiindan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud.
[2] ) Sebagian showroom tidak mensyaratkan pembayaran uang muka.
[3] ) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab At Tahqiq. Baca Nasbur Rayah 4/43 , dan At Tahqiq 2/181.
[4] ) Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5] ) Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.
Read more...

Adzab Allah

0 komentar

Selamatkan Diri dari Adzab Allah Dengan Bersyukur

Rain from freefoto.comTidak perlu diragukan lagi akan keutamaan syukur dan ketinggian derajatnya, yakni syukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya yang datang terus beruntun dan tiada habis-habisnya. Di dalam Al-Qur’an Allah menyuruh bersyukur dan melarang kebalikannya. Allah memuji orang-orang yang mau bersyukur dan menyebut mereka sebagai makhluk-makhluk-Nya yang istimewa. Allah menjadikan syukur sebagai tujuan penciptaan-Nya, dan menjanjikan orang-orang yang mau melakukannya dengan balasan yang sangat baik. Allah menjadikan syukur sebagai sebab untuk menambahkan karunia dan pemberian-Nya, dan sebagai sesuatu yang memelihara nikmat-Nya. Allah memberitahukan bahwa orang-orang yang mau bersyukur adalah orang-orang yang dapat memanfaatkan tanda-tanda kebesaran-Nya.
Allah memerintahkan untuk bersyukur pada beberapa ayat Al-Qur’an. Allah berfirman:
 وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“… dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (An-NahI: 114)
 فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ
“Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“… maka mintalah rizki itu di sisi Allaih dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.“ (Al-Ankabut: 17)
Allah menggantungkan tambahan nikmat dengan syukur. Dan tambahan nikmat dari-Nya itu tiada batasnya, sebagaimana syukur kepada-Nya. Allah berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Dengan bersyukur akan selalu ada tambahan nikmat. Ada peribahasa mengatakan, ‘Jika kamu tidak melihat keadaanmu bertambah, maka bersyukurlah.’
Allah mengabarkan bahwa yang menyembah Diri-Nya hanyalah orang yang bersyukur pada-Nya. Dan siapa yang tidak mau bersyukur kepada-Nya berarti ia bukan termasuk orang-orang yang mengabdi-Nya. Allah berfirman:
وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“… dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar hanya kepada Allah saja kamu menyembah.” (Al-Baqarah: 172)
Allah mengabarkan keridhaan-Nya terletak pada mensyukuri-Nya. Allah berfirman:
وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“… dan jika kamu bersyukur niscaya Allah meridhai bagimu kesyukuranmu itu …” (Az-Zumar: 7)
Allah mengabarkan bahwa musuh-Nya iblis selalu berusaha menggoda manusia agar tidak bersyukur, karena ia tahu kedudukan syukur yang sangat tinggi dan nilainya yang sangat agung, seperti yang terungkap dalam firman-Nya:
ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“… kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raaf: 17)
Allah membarengkan syukur dengan iman dan memberitahukan bahwa Dia tidak punya keinginan sama sekali untuk menyiksa hamba-hamba-Nya yang mau bersyukur dan beriman kepada-Nya. Allah berfirman:
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.“ (An-Nisaa: 147) Artinya, kalau kalian mau bersyukur dan beriman yang menjadi tujuan kalian diciptakan, maka buat apa Allah menyiksa kalian?
Lantas Bagaimanakah kita Bersyukur?
Asal dan hakikat syukur ialah mengakui nikmat yang memberinya dengan cara tunduk, patuh dan cinta kepadanya. Orang yang tidak mengenal bahkan tidak mengetahui suatu nikmat ia jelas tidak bisa mensyukurinya. Demikian juga dengan orang yang mengenal nikmat tetapi tidak mengenal yang memberinya, ia tidak mensyukurinya. Orang yang mengenal nikmat berikut yang memberikannya tetapi ia mengingkarinya berarti ia mengkufurinya. Orang yang mengenal nikmat berikut yang memberikannya, mau mengakui dan juga tidak mengingkarinya, tetapi ia tidak mau tunduk, mencintai dan meridhai, berarti ia tidak mau mensyukurinya. Dan orang yang mengenal nikmat berikut yang memberinya lalu ia mau tunduk, mencintai dan meridhai serta menggunakan nikmat untuk melakukan keta’atan kepadanya, maka ia adalah orang yang mensyukurinya.
Dengan demikian jelas bahwa syukur itu harus berdasarkan lima landasan, yakni kepatuhan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, kecintaan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, pengakuan orang yang bersyukur atas nikmat yang disyukuri, sanjungan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri atas nikmatnya dan tidak menggunakan nikmat itu untuk hal-hal yang tidak disukai oleh yang disyukuri. Kelima hal itulah yang menjadi asas dan landasan syukur. Satu saja di antaranya tidak ada maka salah satu kaidah syukur menjadi rusak.
Read more...

Wali Allah

0 komentar

Karomah Wali Allah

Karomah Wali AllahAl-Mufassir bermadzhab Asy-Syafi’i Al-Haafiz Ibnu Katsiir rahimahullah berkata dalam tafsirnya:

“Yunus bin ‘Abdil A’la berkata ; “Aku berkata kepada Asy-Syafi’i : Al-Laits bin S’ad berkata : Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air maka janganlah kalian tertipu olehnya hingga kalian menimbang perkaranya di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah”Maka Asy-Syafi’i berkata, “Al-Laits rahimahullah masih kurang, bahkan jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di atas udara maka janganlah terpedaya olehnya hingga kalian menimbang perkaranya di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Tafsiir Al-Qur’an al-’Adziim 1/326. Perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dengan sanadnya dalam kitabnya Aadaab Asy-Syaafi’i wa Manaaqibuhu hal 184) Anggapan yang telah menyebar di sebagian kaum muslimin pada umumnya, terutama yang ada di Indonesia bahwasanya yang disebut wali Allah adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. Yaitu mampu melakukan hal-hal yang ajaib yang disebut dengan karomah para wali. Sehingga jika ada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi tentang syari’at Islam namun tidak memiliki kekhususan ini maka kewaliannya diragukan. Sebaliknya jika ada seseorang yang sama sekali tidak berilmu bahkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah ‘azza wa jalla dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah ‘azza wa jalla, namun dia mampu menunjukan keajaiban-keajaiban (yang dianggap karomah) maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah ‘azza wa jalla.Pernyataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah diatas sangat tegas membantah pemahaman yang keliru tersebut. Untuk mengukur kewalian yang benar maka harus ditimbang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena keajaiban juga bisa dilakukan oleh orang-orang yang sesat, seperti para dukun, tukang sihir, bahkan pendeta. Al-Hafiz Ibnu Hajar al-’Asqolaani rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya yang terpatri di kalangan orang awam bahwasanya keajaiban/kesaktian menunjukkan barang siapa yang melakukannya adalah termasuk wali-wali Allah. Dan ini merupakan kesalahan dari orang yang mengatakannya. Karena sesungguhnya keajaiban/kesaktian terkadang muncul melalui tangan orang yang berada di atas kebatilan seperti tukang sihir, dukun, dan pendeta. Karenanya orang yang hendak menjadikan kesaktian sebagi bukti kewalian membutuhkan pembeda. Dan pembeda yang paling utama yang mereka sebutkan adalah dengan menguji kondisi/keadaan pemilik kesaktian/keajaiban tersebut. Jika orang tersebut berpegang teguh dengan perintah-perintah syari’at dan menjauhi larangan-larangan syari’at maka keajaiban tersebut merupakan tanda kewaliannya, dan barang siapa yang tidak demikian maka keajaiban tersebut bukanlah tanda kewalian.” (Fathul Baari 7/383)

Hakekat Wali

Wali diambil dari lafal al-walayah yang merupakan lawan kata dari al-‘adawah. Adapun arti dari al-walayah adalah al-mahabbah (kecintaan) dan al-qorbu (kedekatan). Sedangkan arti al-‘adawah adalah al-bugdlu (kebencian) dan al-bu’du (kejauhan). Karenanya yang disebut wali Allah adalah orang yang dia mencintai Allah ‘azza wa jalla dan dekat dengan Allah ta’ala. Dan orang seperti ini harus memiliki sifat-sifat berikut :
Pertama : Dia harus ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alihi wasallam, menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alihi wasallam dan menjauhi larangan-larangan beliau. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah :”Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka Allah akan mencintai kalian dan memaafkan kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imron: 31)
Ayat ini merupakan ayat ujian yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah ta’ala (termasuk di dalamnya orang yang mengaku dia adalah wali Allah). Jika dia benar mengikuti Nabi shallallahu ‘alihi wasallam maka kecintaannya kepada Allah ta’ala adalah benar, dan jika tidak maka cintanya adalah dusta.
Kedua : Dia harus bersifat lembut kepada kaum muslimin dan keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. 5:54)
Hal ini sangatlah bertentangan dengan sifat sebagian orang yang mengaku dirinya wali, atau dianggap wali oleh masyarakat yang sifatnya sangat dekat dengan orang-orang kafir, bahkan mengagumi orang-orang kafir.
Ketiga : Dia harus bertaqwa dan beriman, yaitu beriman dengan hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya, sesuai dengan firman Allah ta’ala:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 62,63)
Maka barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah namun tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah pendusta. (Al-Ushul As-Sittah hal 171,172)

Contoh Wali

Umar bin Al-Khottob radhiyallahu ‘anhu adalah contoh seorang wali Allah bahkan telah dijamin masuk surga. Umar telah mengumpulkan banyak keajaiban dan kehebatan. Rosulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda tentangnya,
قَدْ كَانَ فِيْمَا قَبْلَكُمْ مِنَ الأُمَمِ نَاسٌ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكُنْ مِنْ أُمَّتِيْ أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ
“Pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun (yang mendapatkan sejenis ilham dari Allah). Kalaupun ada di kalangan umatku satu orang, maka dia adalah Umar.” (HR Al-Bukhari no 3469 dan Muslim no 2398)
Nabi juga bersabda :
إِنَّ اللهَ وَضَعَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُوْلُ بِهِ
“Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan Umar yang ia mengucapkan kebenaran tersebut.” (HR Abu Dawud no 2962 dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)
لَوْ كَانَ نَبِيٌّ بَعْدِي لَكَانَ عُمَرَ
“Kalaulah ada nabi setelahku maka dia adalah Umar.” (HR At-Thirmidzi no 3686, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Hadits-hadits ini jelas menunjukkan bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang wali Allah, bahkan beliau mendapatkan ilham dari Allah. Selain itu beliau pernah melakukan hal-hal yang ajaib sebagaimana beliau pernah mengutus sebuah pasukan dan beliau mengangkat seorang pemuda yang bernama Sariyah untuk memimpin pasukan tersebut. Tatkala Umar sedang berkhutbah di atas mimbar, beliau berteriak :”Wahai Sariyah, gunung !, wahai Sariyah, gunung !”. Lalu utusan pasukan tersebut menemui Umar dan berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, kami bertemu musuh, tiba-tiba ada suara teriakan :”Wahai Sariyah, gunung!”, lalu kami menyandarkan punggung-punggung kami ke gunung kemudian Allah memenangkan kami”. (HR Bukhori no 3198, dan Muslim no 1610)
Beliau juga sangat ditakuti oleh Syaitan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alihi wasallam kepada Umar,
يَا بْنَ الْخَطَّاب وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطْ سَالِكًا فَجًّا إِلاَّ سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ
“Wahai Ibnul Khotthob, -demi Yang jiwaku berada di tanganNya- tidaklah syaitan bertemu dengan engkau di jalan manapun kecuali ia mencari jalan yang lain.” (HR Al-Bukhari III/1199 no 3120, III/1347 no 3480, V/2259 no 5735, Muslim IV/1863 no 2396)
Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu harus ma’sum (terjaga dari kesalahan). Kesalahan yang pernah beliau lakukan diantaranya:
1.      Tatkala Nabi shallallahu ‘alihi wasallam berumroh pada tahun ke enam Hijroh bersama sekitar 1400 kaum muslimin –mereka itu adalah yang berbai’at di bawah pohon- dan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam telah mengadakan perjanjian damai (perjanjian Hudaibiyah) dengan kaum musyrikin setelah melalui perundingan dengan kaum musyrikin. Keputusan perundingan tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alihi wasallam dan kaum mukminin kembali ke Madinah pada tahun ini dan akan berumroh pada tahun yang akan datang. Dan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam memberi beberapa syarat terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada tekanan kepada kaum muslimin secara dzohir, sehingga hal itu memberatkan kebanyakan kaum muslimin, sedangkan Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui dengan maslahat yang ada di balik itu. Umar radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang tidak setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alihi wasallam : ”Wahai Rosulullah, bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan ?”, maka Nabi shallallahu ‘alihi wasallam menjawab : ”Benar”, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata lagi : ”Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang yang terbunuh di antara mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi shallallahu ‘alihi wasallam menjawab :”Benar”. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Kenapa kita bersikap merendah pada agama kita?”, Nabi berkata : ”Aku adalah Rosulullah dan Allah adalah penolongku dan aku bukanlah orang yang bermaksiat kepadanya.”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi baitulloh dan berthowaf ?”, Nabi berkata : ”Benar”. Nabi shallallahu ‘alihi wasallam berkata lagi: ”Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan mendatanginya pada tahun ini?”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata : ”Tidak”, Nabi shallallahu ‘alihi wasallam berkata : ”Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan berthowaf.”
Umar pun mendatangi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan berkata kepadanya sebagaimana perkataannya kepada Rosulullah. Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pun menjawab sebagaimana jawaban Rosulullah shallallahu ‘alihi wasallam, padahal dia tidak mendengar jawaban Rosulullah shallallahu ‘alihi wasallam (kepada Umar). Dan Abu Bakar shallallahu ‘alihi wasallam adalah orang yang lebih sering sesuai dengan Allah dan Rosul-Nya dari pada Umar radhiyallahu ‘anhu, dan Umar radhiyallahu ‘anhu mengakui kesalahannya dan berkata: ”Aku benar-benar akan mengamalkannya.” (HR Bukhori no 2732, 2732)
2.      Ketika Nabi shallallahu ‘alihi wasallam wafat, Umar mengingkari kematian Nabi shallallahu ‘alihi wasallam. Namun tatkala Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Sesungguhnya dia telah wafat,” maka Umar radhiyallahu ‘anhu pun menerimanya. (HR Bukhori no 1241, 1242)
3.      Ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu: ”Bagaimana bisa kita memerangi manusia, sedangkan Rosulullah bersabda: ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah Rosulullah. Apabila mereka mengakui hal ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka, kecuali dengan haknya””, maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Bukankah Rosulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda “kecuali dengan haknya?” sesungguhnya zakat termasuk haknya. Demi Allah kalau mereka itu menolak untuk membayar zakat kepadaku yang mereka membayarnya kepada Rosulullah maka aku akan memerangi mereka karena ketidakmauan mereka.” Berkata Umar radhiyallahu ‘anhu: ”Demi Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (orang-orang yang enggan membayar zakat), maka aku mengetahui bahwasanya dia adalah benar.” (HR Bukhori no 1399-1400)
Faidah yang bisa diambil dari pemaparan ini adalah (lihat : Al-Furqon hal 85-88):
a.      Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali sebagaimana Umar yang salah berkali-kali.
b.     Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar yang mendapat ilham dari Allah ‘Azza wa Jalla.
c.      Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada wali Allah yang tidak ada karomahnya. Sebagaimana Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih mulia daripada Umar radhiyallahu ‘anhu, namun dia tidak mendapatkan ilham dari Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak memiliki karomah-karomah sebagaimana yang dimiliki oleh Umar.
Berkata Ibnu Taimyah, ((Dan termasuk perkara yang perlu untuk diketahui bahwasanya karomah terkadang sesuai dengan kebutuhan seseorang. Jika seorang yang lemah imannya membutuhkan karomah atau orang yang butuh maka Allah memberikannya karomah untuk manguatkan imannya dan memenuhi kebutuhannya. Sehingga orang yang kewaliannya lebih sempurna tidak butuh kepada karomah tersebut, maka tidaklah datang kepadanya seperti karomah tersebut karena derajatnya yang tinggi. Dan tidak butuhnya ia kepada karomah tersebut bukan karena derajat kewaliannya yang kurang. Oleh karena itu munculnya karomah lebih banyak terjadi di generasi tabiin dari pada para sahabat. Berbeda dengan kejadian luar biasa yang terjadi melalui tangan-tangan para nabi untuk memberi petunjuk kepada manusia dan kebutuhan manusia…))
d.     Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah ‘azza wajalla dan Rosul-Nya dan menjauhi larangan-larangan Allah ‘azza wajalla dan Rosul-Nya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu yang tetap melaksanakan perintah Allah ‘azza wajalla dan RasulNya
e.      Walaupun seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wasallam yang ma’sum. Sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan Sunnah Nabi.
f.       Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak menentangnya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak membantah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan berkata :”Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus menerima perkataan saya”
g.      Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam. Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi.
h.     Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah wali  sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah. Allah berfirman:
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Dan janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (An-Najm : 32 )
Orang yang mengaku dirinya adalah wali maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah ‘azza wajalla karena telah melanggar larangan Allah ‘Azza wa Jalla ini. Dan orang yang bermaksiat tidak pantas disebut wali Allah. (Syarah Al-Ushul As-Sittah hal 170)
i.        Dan juga bukan termasuk syarat sebagai wali Allah yaitu dia harus memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan kenikmatan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan para wali-Nya.
j.  Wali-wali Allah tidak memiliki ciri-ciri yang khusus pada perkara-perkara mubah yang bisa membedakannya dengan manusia yang lain. Pakaiannya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama. Ciri-ciri wali tidaklah kembali pada perkara-perkara dunia, namun ciri-ciri wali kembali pada perkara-perkara akhirat. Oleh karena itu jelas merupakan kesalahan jika sebagian orang menyangka bahwa ahlu suffah telah mencapai derajat kewalian karena sekedar sifat mereka yang miskin dan kumuh, demikian juga sebagian orang yang menyangka bahwa ciri-ciri wali adalah orang yang memakai sorban, atau memakai tongkat, atau membawa selendang hijau, atau ciri-ciri yang lainnya.
Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dan juga dinyatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar bahwasanya keajaiban dan keluarbiasaan juga ternyata bisa dilakukan oleh orang yang berada diatas kebatilan, seperti penyihir, dukun, maupun pendeta. Tentunya kesaktian yang mereka miliki adalah berkat bantuan teman-teman mereka dari kalangan jin dan syaitan, atau istidroj dari Allah. Karenanya perlu kita untuk mengetahui perbedaan antara karomah wali dan tipuan kesaktian/tipuan syaitan.
Diantara perbedaannya adalah:
1.            Bahwa karomah para wali disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan. Sedangkan keajaiban dan keluarbiasaan lain yang merupakan bantuan syaithon disebabkan oleh hal-hal yang merupakan larangan Allah ‘Azza wa Jalla dan Rosulullah. Jadi apabila di dalamnya mengandung unsur-unsur yang disenangi oleh syaithon, baik itu kemusyrikan, kedzoliman, kemaksiatan (seperti musik) atau kebid’ahan, maka jelas yang terjadi pasti bukan karomah.
2.            Karomah tidak bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan apa saja dan tidak bisa dilawan. Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa lain yang merupakan bantuan syaithon bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan ayat-ayat Allah seperti ayat kursi dan lain-lain.
3.            Karomah tidak bisa dipelajari sehingga menjadi suatu ilmu kedigdayaan yang baku. Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa yang berasal dari syaithon bisa dipelajari. Sebagaimana karomah-karomah yang telah dimiliki oleh para salaf, tidak ada satu atsarpun yang menunjukkan bahwa mereka pernah mengajarkan karomah mereka kepada orang lain. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak pernah mengajarkan karomahnya kepada orang lain, kerena memang tidak bisa diajarkan, akan tetapi murni anugerah dari Allah semata.
Dari sini kita paham bahwasanya hukum tenaga dalam, jika diatasnamakan Islam (biasanya dicampur dengan dzikir-dzikir asma Allah) maka adalah harom. Karena tenaga dalam biasanya menjadi ilmu yang baku dan bisa dipelajari. Dan tidak ada dalil sama sekali bahwa dengan bacaan-bacaan disertai gerakan-gerakan khusus yang mereka lakukan bisa mengahasilkan tenaga dalam.
Selain itu praktek-praktek latihan tenaga dalam yang ada menyelisihi syari’at diantaranya :
a.      Latihannya harus menggunakan emosi, padahal Rosulullah shallallahu ‘alihi wasallam telah melarang seseorang untuk emosi, beliau bersabda :
لاَ تَغْضَبْ
“Janganlah engkau marah.”
Rahasia mereka (yang latihan tenaga dalam) harus marah sebab dengan marah tersebut syaithon bisa masuk dalam tubuh mereka sehingga bisa memberi kekuatan untuk tenaga dalam mereka. Sebagaimana sabda Rosulullah :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ بَنِي آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya syaithon mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana aliran darah.” (Riwayat Bukhori)
b.     Ketika latihan, mereka sering tidak sadar, terutama ketika sedang memprkatekkan jurus mereka. Hal ini sama saja dengan sengaja membuat diri menjadi tidak sadar (alias mabuk), dan hal ini tidak boleh dalam Islam, sebab Islam menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga akal kita sehingga bisa senantiasa berdzikir kepada Allah.
c.      Kadang disertai dengan puasa mutih (tidak boleh makan kecuali yang putih-putih), yang ini tidak ada syari’atnya dalam Islam. Atau untuk menjaga ilmunya dia harus menghindari pantangan-pantangan tertentu yang sebenarnya hal itu dihalalkan baginya sebelum dia memiliki ilmu tenaga dalam tersebut. Dan ini berarti mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah.
Adapun jika tenaga dalam tersebut murni hasil latihan tanpa disertai ritual yang bermacam-macam, dan jika memang bisa menghasilkan tenaga dalam maka hal ini tentunya tidak mengapa, dan dia bukan termasuk karomat wali karena orang kafirpun bisa melakukannya.
4.            Karomah pada umumnya tidak bisa dilakukan terus menerus, tetapi terjadi sesuai kehendak Allah bukan berdasarkan kehendak Wali yang mendapatkan karomah tersebut.
Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah mengakui adanya karomah, tidak sebagaimana mu’tazilah yang mengingkari karomah dan berkata :”Kalau kita mengakui karomah, maka akan sama wali dengan Nabi”, karena meskipun mukjizat dan karomat sama-sama merupakan perkara yang ajaib dan luar biasa akan tetapi ada perbedaan antara mukjizat dengan karomah.
Perbedaannya :
-         Mu’jizat hanya berlaku pada para nabi dan rosul, adapun karomah pada para wali. Mu’jizat diperoleh dengan kenabian, adapun karomah diperoleh dengan ketaqwaan. Karenanya pemilik karomah tidak pernah mengaku sebagai nabi, berbeda dengan pemilik mukjizat ia mempropagandakan kenabiannya
-         Karomah kedudukannya lebih rendah daripada mu’jizat, karena tidaklah seorang wali memiliki karomah kecuali karena ia telah mengikuti Nabinya sang pemilik mukjizat.
-         Akibat dari mu’jizat adalah baik, adapun efek samping dari karomah belum tentu. Karena bisa jadi seseorang mendapatkan karomah lalu semakin rendah derjatnya karena dia menggunakan karomahnya untuk bermaksiat kepada Allah. (Misalnya dia sombong dengan karomah yang pernah dia alami, atau dia merasa telah bertaqwa dan yakin masuk surga dengan karomahnya itu). Contohnya yang terjadi pada Bal’aam bin Ba’uuroo. Beliau termasuk ahli ibadah di zaman bani Israil. Ia memiliki karomat, tidaklah ia meminta sesuatu kepada Allah kecuali Allah mengabulkannya. Maka kaumnyapun mendatanginya dan memintanya agar berdoa keburukan atas nabi Musa dan kaumnya. Maka setelah kaumnya merayu-rayunya dan memaksanya akhirnya iapun memenuhi permintaan kaumnya maka Allahpun mencabut karomahnya tersebut (Lihat Ad-Dur Al-Mantsur III/610 tafsir surat Al-A’rof ayat 175).
-         Pemilik mu’jizat (yaitu para Nabi dan Rosul) menantang orang-orang yang menyelisihinya, adapun pemilik karomah tidak demikian

Mencari Karomah (Kesaktian) Tidaklah Dianjurkan

Dalam beribadah hendaknya kita berniat karena Allah bukan karena untuk mencari karomah, karena sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin harus mencari karomah/kesaktian dan keajaiban. Bahkan beribadah dalam rangka untuk memperoleh kesaktian merupakan bentuk beribadah karena ingin memperoleh dunia yang diharamkan oleh Allah (Lihat penjelasan Ibnu Abil ‘Izz dalam syarh Al-Aqidah At-Thohawiyah II/757).
Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. 17:18)
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. 11: 15-16)
Namun yang Allah perintahkan hendaknya seorang mukmin berusaha untuk beristiqomah. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam yang merupakan penghulu dan pemimpin para wali bahkan pemimpin para nabi dan rasul telah diperintahkan oleh Allah untuk beristiqomah. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Maka istiqomahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. 11:112)
Berkata Ibnu Abil ‘Izz, “Mereka tidak mengetahui bahwasanya pada hakekatnya yang namanya karomah itu adalah melazimi keitiqomahan, dan bahwasanya Allah tidaklah memuliakan seorang hamba dengan memberikannya sebuah karomah yang lebih mulia daripada menjadikannya sesuai dengan apa yang dicintaiNya dan diridhoiNya yaitu taat kepadaNya dan taat kepada rasulNya, loyal kepada para walinya dan memusuhi musuh-musuhNya” (Syarh Al-Aqidah At-Tohawiyah II/755)
Berkata Abu Ali Al-Jaurjani : “Jadilah engkau orang yang mencari keistiqomahan, jangan menjadi pencari karomah. Sesungguhnya jiwamu bergerak (berusaha) dalam mencari karomah padahal Rob engkau mencari keistiqomahanmu”.(Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah II/754)
Berkata Syaikh As-Sahrowardi: ”Ucapan ini adalah prinsip yang agung dalam perkara ini, karena sesungguhnya banyak mujtahid dan ahli ibadah mendengar salaf as-sholih, telah diberi karomat-karomat dan hal-hal yang luar biasa sehingga jiwa-jiwa mereka (para ahli ibadah itu) senantiasa mencari sesuatu dari hal itu (karomah tersebut), dan mereka ingin diberikan sedikit dari hal itu, dan mungkin diantara mereka ada yang hatinya frustasi dalam keadaan menuduh dirinya bahwa amal ibadahnya tidak sah karena tidak mendapatkan karomah. Kalau mereka mengetahui rahasia hal itu (yaitu Allah tidak menuntut para hambanya untuk memperoleh karomah, tetapi yang Allah inginkan para hambanya beristiqomah –pent) tentu perkara ini (mencari karomah) adalah perkara yang rendah bagi mereka.” (Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah II/754).

Praktek Wasiat Al-Imam Asy-Syafi’i

Banyak masyarakat Indonesia yang menganggap Gus Dur sebagai wali, terlebih-lebih lagi Gus Dur dianggap banyak memiliki karomah-karomah. Untuk menilai Gus Dur adalah wali atau bukan tentunya kita melaksanakan washiat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, dimana  beliau menyatakan :
“Bahkan jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di atas udara maka janganlah terpedaya olehnya hingga kalian menimbang perkaranya di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Untuk itu berikut ini saya akan sampaikan pernyataan-pernyataan Gus Dur (dari sebuah artikel yang disebarkan di internet) sebagai bahan penilaian, apakah beliau seorang wali atau bukan?, dan silahkan para pembaca menilai sendiri dengan menimbangkannya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai bentuk pelaksanaan terhadap washiat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah :
Tolak Syariat Islam di Indonesia: Gus Dur Tak Perlu Dibela
Bila menyimak pemikiran dan ucapan Gus Dur, menunjukkan ia adalah tokoh kontroversial yang berjuang keras mewujudkan sebuah negara `impian’ sekuler bernama Indonesia.
Berikut ini adalah ucapan-ucapan Gus Dur yang terekam dalam setiap moment:
20 November 1998, para tokoh berbagai agama berkumpul di rumah Gus Dur, Ciganjur, dan mengeluarkan penyataan sikap, “Kami sepakat tidak akan menggunakan agama sebagai kekuatan politik.”
24 Mei 1999, dalam acara “Partai-Partai“ di TPI, Gus Dur menegaskan cita-citanya untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel dan mempertegas penolakannya terhadap gagasan dimasukkannya hukum Islam ke dalam hukum nasional. “Ini negara kebangsaan. Karena itu Islam boleh dominan sebagai kekuatan moral, bukan sebagai kekuatan fisik atau sebagai perangkat hukum. Hukum (Islam) dijalankan oleh ummat, bukan oleh negara,” kata Gus Dur.
Awal November 1999, saat melakukan lawatan ke sejumlah negara ASEAN, Gus Dur menegaskan lagi, “Indonesia tidak akan menjadi negara agama dan hukum Islam tidak akan dijadikan hukum nasional.”
24 Oktober 1999, Gus Dur berkata, “Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak.”
27 Desember 1999, dalam Peringatan Natal Bersama di Balai Sidang Jakarta, Gus Dur membuat pernyataan, “Karena itu, bagi saya, peringatan Natal adalah peringatan kaum Muslimin juga. Kalau kita konsekuen sebagai seorang Muslim (yang) merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, juga adalah harus konsekuen merayakan malam Natal.”
21 Maret 2000, Gus Dur berucap, “Seperti Masjid Istiqlal, bahwa itu hanya diurusi ummat Islam saja, itu namanya salah kaprah. Mestinya semua orang boleh ngurusi kalau benar-benar seperti di Washington ada National Cathedral”.
27 Maret 2000, di Semarang, Gus Dur menegaskan lagi usulannya soal pencabutan Tap MPRS XXV/1966. “Demokrasi tidak mengenal komunis atau bukan komunis”, ujarnya.
1 Februari 2000, dalam pertemuan dengan sekitar 300 masyarakat Indonesia di London, Gus Dur menyatakan, “Ingat, identitas keislaman itu datangnya dari akhlaq pribadi kita, moralitas kita, maupun keyakinan kita, bukan dari institusi apapun. Kalau institusi apapun yang pakai nama Islam harus kita curigai. Itu saja”.
Dalam salah satu tulisannya di Media Indonesia, Gus Dur menulis, “Tetapi, di Indonesia, keinginan untuk meninggalkan ideologi Islam justru datang dari gerakan Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU). Ini membuat perkembangan Islam di Asia Tenggara memerlukan perhatian tersendiri.” (Wahid, 1999:26)
Wawancara Gus Dur dengan JIL
Dalam sebuah wawancara dengan komunitas Jaringan Islam Liberal (JIL), Gus Dur menjawab pertanyaan-pertanyaan aktivis muda JIL. Berikut tanya jawab aktvis JIL dengan Gus Dur:
Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama?
Gus Dur: Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar.
Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan alasan otonomi daerah?
Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Dulu di tahun 1935, kakek saya dari ayah, Almarhum KH. Hasyim Asy’ari, sudah ngotot-ngotot berpendapat bahwa kita tidak butuh negara Islam untuk menerapkan syariat Islam. Biar masyarakat yang melaksanakan (ajaran Islam, Red), bukan karena diatur oleh negara. Alasan kakek saya berpulang pada perbedaan-perbedaan kepenganutan agama dalam masyarakat kita. Kita ini bukan negara Islam, jadi jangan bikin aturan-aturan yang berdasarkan pada agama Islam saja.
Gus, ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) dan sejumlah perda-perda syariat, Indonesia akan “diarabkan”. Apa Gus Dur setuju dengan pendapat itu?
Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang ini? Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka menyamakan Islam dengan Arab. Padahal menurut saya, Islam itu beda dengan Arab. Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Semua orang tahu bahwa pesantren itu lembaga Islam, tapi kata pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha.
Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat non-muslim?
Ya itulah… Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini, dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih… Dan persoalannya itu-itu saja.
Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat kita?
Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki. Sekarang standar moralitas memang sudah berubah. Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan kecabulan.
Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu`aththar (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha… Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab-kitab itu dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum—penyanyi legendaris Mesir—bisa sambil teriak-teriak “Allah… Allah…” Padahal isi lagunya kadang ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca.
Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?
Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh)…Jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha…
Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena itu orang bikin aturan soal aurat perempuan lewat perda-perda?
Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun belum tentu kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan minimal itu salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah: menyamakan batasan maksimal dan minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara pandang yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara’ tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian… ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.
Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada kelompok-kelompok yang sangat rajin melakukan tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding melakukan penodaan atau penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya bagaimana?
Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam. Tidak bisa melakukan penghakiman dan kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat orang. Tidak ada itu yang namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan itu soal batin manusia, sementara kita hanya mampu melihat sisi lahirnya. Nabi saja bersabda, nahnu nahkum bil dlawâhir walLâh yatawalla al-sarâ’ir (kami hanya melihat sisi lahiriah saja, dan Allah saja yang berhak atas apa yang ada di batin orang, Red).
Sejak dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim diri sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela!
Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus?
Begini ya… Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam melihat persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri. Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka ini biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas, kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak benar itu!
Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini. Saya baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam. Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini: Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh… selesai, kan? Gitu aja repot.
(Sumber : http: //www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/11/29/22054/tolak-syariat-islam-di-indonesia-gus-dur-tak-perlu-dibela/, lihat juga : http: //islamlib.com/?site=1&aid=819&cat=content&title=wawancara)
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 24-11-1434 H / 30 September 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
Read more...
 
SMP MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA © 2006 . taufik